Studi Kerentanan Perubahan Iklim Masyarakat Pesisir di Nusa Tenggara Barat

Sejak 1980-an, masyarakat pesisir dan nelayan di Lombok Utara mulai merasakan perubahan pola angin dan musim yang mengganggu jadwal melaut. Memasuki 2000-an, suhu laut menghangat, cuaca ekstrem lebih sering terjadi, dan hasil tangkapan menjadi tidak menentu. Biaya operasional meningkat, sementara musim ikan bergeser, memaksa nelayan melaut lebih jauh dengan risiko keselamatan lebih tinggi.

Lingkungan pesisir mengalami abrasi, banjir rob, dan intrusi air laut yang merusak permukiman, lahan, dan sumur. Terumbu karang mengalami pemutihan berulang, melemahkan stok ikan dan perlindungan alami pantai. Mangrove yang hilang mempercepat kerusakan garis pantai, meski di lokasi rehabilitasi manfaatnya terasa.

Hingga 2025, dampak perubahan iklim semakin nyata: pendapatan nelayan kian tidak stabil, budidaya pesisir terancam penyakit dan cuaca buruk, serta sektor wisata bahari ikut terganggu. Adaptasi menjadi keharusan melalui perikanan adaptif, diversifikasi usaha, pemulihan ekosistem, dan infrastruktur pesisir yang siap menghadapi krisis iklim.

FGD di dusun Teluk Kombal, desa Pemenang – Kabupaten Lombok Utara

Pada tahun 2012-2013 Santiri Foundation pernah mengadakan penelitian dan pemetaan sosial tentang dampak perubahan iklim pada masyarakat pesisir dan nelayan di wilayan NTB. Pemetaan sosial dampak perubahan iklim terhadap kehidupan sehari-hari dan perekonomian masyarakat nelayan dilakukan di 50 desa pesisir dari 5 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pemetaan sosial ini menggunakan modul penelitian I-CATCH.

IMACS merupakan program yang memfokuskan kegiatannya pada upaya penguatan kapasitas masyarakat pesisir dalam menghadapi gejala dan dampak perubahan iklim, salah satu kegiatannya adalah melakukan pengkajian partisipatif terhadap kerentanan masyarakat pesisir dengan menggunakan panduan pengkajian yang disebut Indonesian Climate Adaptation Tools for Coastal Habitat (I-CATCH). Dengan pendekatan ini, fasilitator membantu masyarakat mengkaji tingkat kerentanan mereka sendiri terhadap dampak perubahan iklim dan kemudian menggunakan informasi yang telah digali untuk membangun rencana adaptasi masyarakat. Analisis kerentanan dilakukan pada bulan September-Desember 2012 di masing-masing 25 desa di Nusa Tenggara Barat. Kemudian pada tahun 2013, kegiatan kembali dilaksanakan di 25 desa di Nusa Tenggara Barat. Total 50 desa di 5 Kabupaten di Nusa Tenggara Barat. Pemilihan provinsi dan kabupaten untuk program IMACS dilakukan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Puskita-KKP. Sementara itu, pemilihan desa di setiap kabupaten ditetapkan oleh KP3K-KKP.  

Sekretariat IMACS berperan dalam memberikan konsultasi mengenai kriteria pemilihan kabupaten dan desa sasaran program. Kriteria pemilihan desa meliputi wilayah yang berpotensi terpapar perubahan kondisi iklim, yang masyarakatnya sangat bergantung pada sumber daya pesisir dan laut. Di setiap desa, analisis kerentanan dan penyusunan rencana aksi melibatkan 25-30 perwakilan masyarakat sebagai peserta. Pemilihan peserta dilakukan dengan dua metode, yaitu purposive dan random sampling. Metode ini membagi kelompok berdasarkan mata pencaharian kemudian menentukan jumlah peserta dalam setiap kelompok, misalnya kelompok nelayan 8 orang, kelompok petani budidaya laut 6 orang, kelompok petani lahan 4 orang, dan kelompok buruh, ibu rumah tangga, dan pegawai negeri sipil 7 orang. Proporsi peserta dalam setiap kelompok mengikuti proporsi masyarakat berdasarkan mata pencahariannya. Selanjutnya, peserta dipilih secara acak dari daftar nama yang ada atau dengan cara berjalan kaki menyusuri jalan desa dengan didampingi oleh perangkat desa atau warga. Pelatihan penggunaan panduan ini telah dilakukan kepada 16 fasilitator lokal di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tenggara pada bulan Juni 2013. Para fasilitator direkrut oleh mitra IMACS di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tenggara, yaitu Yayasan SANTIRI dan YASCITA. Hasil Pelaksanaan I-CATCH Kajian kerentanan perubahan iklim ini dilaksanakan selama 2 (dua) hari berturut-turut di setiap desa, mulai Juli 2013 hingga Desember 2013.

Selanjutnya, penyusunan rencana aksi adaptasi dilakukan pada hari yang berbeda dalam lokakarya gabungan beberapa desa yang memiliki permasalahan utama yang sama. Jeda waktu antara kegiatan kajian kerentanan dan rencana aksi adaptasi memberikan waktu bagi para fasilitator untuk mengkaji hasil kajian kerentanan, mengumpulkan data sekunder, dan mempersiapkan para ahli terkait permasalahan yang paling menonjol di desa tersebut.

I-CATCH merupakan alat pemodelan untuk mengkaji kerentanan masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim yang diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih komprehensif terkait kondisi terkini mengenai perubahan pola musim dan kondisi cuaca serta dampaknya terhadap sumber daya dan masyarakat.

Desa-Desa Lokasi Kegiatan I-Catch:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *