Dari Desa Berdaya ke Rumah Kebudayaan: Dialog dengan Gubernur NTB

Oleh: Yuga Anggana

Bahwa gubernur saat ini memiliki pandangan budaya yang sejalan dengan saya—bahwa seni, tradisi, dan nilai-nilai lokal adalah kunci membangun peradaban—cukup untuk menumbuhkan harapan baru di dada saya.

Ada pertanyaan yang sudah lama saya simpan tentang Miq Iqbal—Lalu Muhamad Iqbal. Jauh sebelum ia menjadi gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), saya pernah dua kali duduk bersila bersamanya—ngopi, merokok, bercakap ringan di antara asap kretek dan gelas kopi hitam. Pertama di Taman Budaya, kedua di rumah Lalu Prima, tokoh budaya dari Jelantik, Lombok Tengah.

Sejak saat itu saya kerap bertanya-tanya: apa yang membuat Miq Iqbal begitu dekat dengan ruang-ruang kebudayaan? Mengapa ia, yang meniti jalan birokrasi hingga ke pucuk kekuasaan, justru hadir di tengah para seniman, budayawan, dan pemikir desa? Di masa kepemimpinan sebelumnya, saya tidak pernah melihat kedekatan semacam ini.

Pertanyaan itu menggantung lama. Dan kini, pada sebuah sore di bulan September, saya akhirnya berkesempatan mencari jawabannya.

Saya datang bukan sebagai pejabat atau orang yang lihai berjejaring politik. Saya hanya seorang dosen biasa, pegiat seni, dan pecinta budaya. Ayah Tjatur—arsitek sosial-budaya yang sudah seperti orang tua bagi saya—sebelumnya berpesan,

“Bicarakan soal Artcofeelago dengan Gubernur. Supaya ada dukungan. Supaya langkah-langkah kita tidak berjalan sendiri-sendiri.”

Yang dimaksud Ayah adalah Artcofeelago Common Labora—rumah pemajuan kebudayaan berbasis komunitas yang sudah lama jadi impian banyak kawan pegiat seni di sekitar. Saya terlibat dalam membangun dan mengelola rumah pemajuan kebudayaan tersebut.

Namun, saya harus jujur: dunia pemerintahan bukan ruang yang akrab bagi saya. Meski aktif di banyak komunitas dan mengajar di kampus ternama, saya nyaris tak pernah dekat dengan pejabat tinggi provinsi. Paling jauh hanya kepala desa—itu pun karena urusan KKN mahasiswa atau pengabdian masyarakat.

Saya bahkan tidak pernah nyaman melobi-lobi orang atau membawa pertemanan ke ranah politis. Mungkin karena saya tipe yang tak enakan, yang menjaga jarak agar hubungan tetap murni tanpa pamrih. Tapi Miq Iqbal berbeda. Dari tiga kali pergantian gubernur yang saya saksikan, hanya ia yang sebelum terpilih pun sudah mau duduk bersila bersama seniman dan budayawan, berbicara tentang kebudayaan. Itu sebabnya, saya penasaran: apakah kedekatannya lahir dari kepedulian tulus, atau sekadar manuver politik?

Meski ada keraguan, saya cenderung percaya ia memang dekat dengan kebudayaan. Selain pengalaman pribadi saya dengannya, ia juga seorang Lalu—gelar bangsawan Sasak yang lahir dari rahim adat dan tradisi. Tapi tetap ada pertanyaan yang mengusik: apakah pandangannya tentang budaya sejalan dengan pemahaman saya, atau ia punya prinsipnya sendiri?

Sore Itu, Pertemuan Itu

Jumat, 12 September 2025.
Ayah Tjatur mengirim pesan lewat WhatsApp:

“Ayok ikut. Ada banyak gagasan yang perlu untuk didiskusikan dengan Gubernur.”

Saya membalas singkat, “Siap, Ayah!”

Sekitar pukul tiga sore, kami bersepuluh tiba di kantor gubernur mewakili Santiri Foundation. Latar belakang kami beragam—ahli statistik, teknologi, olahraga, bahasa—sementara saya membawa misi seni dan kebudayaan.

Miq Iqbal menyambut dengan langkah yang sedikit terpincang.

“Baru selesai operasi Jumat lalu,” katanya, “tapi sudah jauh membaik.”

Saya mengangguk, diam-diam menghargai dedikasinya. Di tengah pemulihan, ia tetap membuka pintu bagi diskusi panjang tentang masa depan NTB.

Suasana diskusi bersama Miq Iqbal
Desa Berdaya, Budaya, dan Masa Depan NTB

Tanpa basa-basi, Ayah Tjatur membuka pembicaraan tentang Desa Berdaya: gagasan menjadikan desa pusat kekuatan ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Ia bercerita tentang kerja panjang Santiri Foundation di Bayan dan desa-desa lain, bersinergi dengan pemerintah provinsi dari satu masa ke masa berikutnya.

Miq Iqbal mendengar serius. Ia mencatat, lalu menegaskan bahwa program Desa Berdaya akan disempurnakan, terutama soal validasi data agar kebijakan benar-benar berbasis fakta. Beberapa keputusan diputuskan saat itu juga: surat referensi untuk Rainforest Trust dibereskan administrasinya, peresmian pompa air dan peluncuran WeSmArt Agriculture di Bayan dipersiapkan matang, kerja sama pemajuan SMK NTB disiapkan naskahnya, dan Desa Berdaya diminta diperkuat fondasi budayanya sebelum akhir tahun.

Namun, bagi saya, momen paling menarik adalah ketika obrolan beralih ke Rumah Pemajuan Kebudayaan. Miq Iqbal berencana mengundang banyak pihak untuk merumuskan arah kebudayaan NTB ke depan. Ia bahkan meminta komunitas Yo’ra Hero mengirim surat permohonan agar riset dan penerbitan buku tentang budaya Bayan bisa berlanjut—dengan pembelian seratus eksemplar buku yang sudah terbit.

Tentang Seni, Budaya, dan Kuku Kotor

Ayah Tjatur lalu menoleh pada saya, memperkenalkan saya sebagai pegiat seni dan budaya. Saya mulai membuka suara bercerita tentang Desa Telaga Waru, tentang bagaimana masyarakat mau menjaga sumber air bukan karena ada anggaran, tapi karena mereka meyakininya sebagai sesuatu yang sakral. Dengan penuh percaya diri saya menyampaikan bahwa Perhelatan Molang Maliq Mualan Benyer bisa menjadi salah satu role model pelestarian alam berbasis budaya atau upaya pengembangan wisata desa berbasis pelestarian alam secara berkelanjutan.

Lalu saya menguji pandangan Miq Iqbal tentang budaya.

“Bagaimana menurut plungguh tentang budaya kita ini, Miq?”

Ia menegakkan badan, berbicara pelan namun mantap:

“Evolutif. Budaya itu harus evolutif, dinamis, fleksibel, tidak kaku.”

Ia mencontohkan Kecimol—ekspresi seni yang saya anggap merupakan pengembangan dari Gendang Beleq milik masyarakat Lombok yang sering dicap negatif karena mabuk-mabukan atau tarian erotis.

“Yang harus dihilangkan perilaku negatifnya, bukan kecimolnya. Budayanya tetap dijaga. Kalau Kecimol dihapus, orang jadi malas berkreasi nanti.”

Saya menimpali, “Ibarat kuku kotor, yang dipotong kukunya, bukan jarinya.”

Ia tertawa kecil. “Tepat!”

Di titik itu saya merasa ada frekuensi yang terhubung dengannya. Kami sepakat: nilai-nilai kearifan budaya harus digali dan dijaga, sementara bentuk ekspresi boleh saja berubah, boleh kreatif, boleh dinamis.

Harapan Baru di Ujung Pertemuan

Menjelang akhir diskusi, Miq Iqbal menyampaikan kabar baik: mulai Januari tahun depan, NTB akan punya Dinas Kebudayaan sendiri. Beliau juga menjelaskan bahwa akan dibentuk forum besar berisi budayawan, akademisi, dan masyarakat adat untuk merumuskan visi kebudayaan NTB ke depan, sekaligus memilih “sopir” terbaik yang akan memimpin perjalanan ini.

Saya lalu memaparkan gagasan pemajuan kebudayaan berbasis komunitas yang kami rumuskan di Artcofeelago Common Labora—mulai dari perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, pembinaan, hingga penyebarluasan dan perniagaan budaya—agar ekosistem kebudayaan di NTB bisa benar-benar utuh.

Miq Iqbal mengangguk, “Kita harus bertemu lagi khusus membahas ini lebih lanjut,” ujarnya. Ayah Tjatur menyarankan agar pertemuan berikutnya diadakan di Artcofeelago Common Labora—di ruang yang lebih santai, lebih dekat dengan denyut nadi kesenian. Miq Iqbal setuju.

Saya pulang sore itu dengan perasaan cukup lega. Bahwa gubernur saat ini memiliki pandangan budaya yang sejalan dengan saya—bahwa seni, tradisi, dan nilai-nilai lokal adalah kunci membangun peradaban—cukup untuk menumbuhkan harapan baru di dada saya.

Selebihnya, waktu yang akan menjawab.

Sesi foto bersama setelah diskusi antara Santiri Foundation dengan Miq Iqbal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *