Bertempat di Rumah Pemajuan Kebudayaan yang satu tempat dengan Warung Kopi ArtCoffeelago pada hari minggu, tanggal 8 September 2024 diadakan acara Nonton bareng video dokumentasi dari kegiatan Molang Maliq oleh musisi yang juga dosen UIN NTB kang Yuga Anggana dan Juga Dokumentasi Film Maestro Wariga dan Proses Digitalisasi Wariga di Lombok Utara oleh Tim Santiri Foundation dan Sekolah Adat Bayan. kegiatan ini terselenggara atas dukungan oleh Dana Indonesiana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Molang Maliq adalah sebuah nama tradisi di Telagawaru Lombok Timur. Proses yang di dokumentasikan menjadi film dokumenter ini adalah proses “menghidupkan” kembali sumber mata air di desa tersebut. Kang Yuga dan rekan satu tim Pamela Paganini bersinergi dengan banyak pihak untuk menghidupkan kembali Mata Air tersebut dengan proses yang tak mudah karena harus benar-benar memulai dari awal; mengajak anak muda, sosialisasi ke warga hingga membentuk sanggar seni. Mata air itu satu tapi perjalanan “menghidupkan” dan menjaga nya bersama-sama adalah proses yang menantang sekaligus seru. Menyadarkan masyarakat akan pentingnya mata air, penting nya menjaga kebersihan dan keseimbangan alam tentu bukan hal mudah. Namun endingnya bukan hanya sumber mata air yang menjadi bersih dan menjadi sakral kembali tetapi banyak hal hal lain turut “hidup” di desa itu sebagaimana air memberi energi dan kehidupan pada sekitarnya.
Berikutnya adalah Film Dokumenter Wariga.
Wariga adalah pranata waktu yang dalam bahasa jawa disebut Titi Mangsa. Ini adalah ilmu dan teknologi yang bersanding dengan tata kelola ruang, alam dan nilai Nusantara. Dalam hal ini, kami telah melakukan kajian partisipatif untuk merevitaliasi sekaligus dengan seijin si empunya, mentransformasikan sebagai pengetahuan kekinian: Animasi apa dan bagaimana itu wariga, Film dokumentasi yang ilmiah dipopulerkan; dan aplikasi digital.
Berdasarkan buku Kajian Astronomi tradisional (yuk membiasakan dengan mengganti “tradisional dengan “Liyan”) Palelintangan Di Lombok NTB, llmu perbintangan sebagai local knowledge (pengetahuan lokal) dan local senens (keahlian lokal) suku bangsa Sasak, yang dikenal sebagai uriga (wuriga) telah banyak ditulis dalam daun lontar yang disebut takepan, ditulis dalam huruf Kawi/Jawa kuno (Jejawan). Menggunakan bahasa Kawi atau bahasa Jawa madya dan juga menggunakan bahasa reramputan (campuran bahasa Sasak dan Jawa Madya). Oleh karena wilayah adat budaya Sasak terbagi dalam empat berdasarkan entitas dan pranata social setempatan yaitu Selaparang di Lombok Timur, Pejanggik di Lombok Tengah, Bayan di Lombok Utara dan Pujut di Lombok Tengah bagian selatan), maka cara perhitungan astronomi dalam wuriga Sasak pun menjadi sedikit berbeda, terutama dalam sebutan nama bulan. Hitungan hari penanggalan jelo dan dalam hal pengenaan dedosan (sanksi) adat jika ada pelanggaran adat. Penggunaan wuriga sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa (dengan terminologi Hindu, Buddha, Islam), budaya Bali (dengan terminologi Hindu Bali) dan budaya Arab Melayu (dengan terminologi Islam).
Wariga dan Kedaulatan Pangan di Saujana Bayan
Ruang Hidup dan Wilayah Kelola Adat Bayan di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, merupakan saujana yang kaya akan ilmu pengetahuan setempat, kejeniusan, keaslian, kebaruan, dan tradisi yang diwadahi dalam kearifan yang dipegang teguh hingga saat ini. Salah satunya adalah sistem penanggalan Wariga. Wariga telah menjadi bagian integral dari budaya dan kehidupan sehari-hari masyarakat adat saujana Bayan selama berabad-abad. Sistem penanggalan atau pranata waktu ini memiliki peranan penting dalam menentukan waktu pelaksanaan berbagai upacara adat dan keagamaan, terutama yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan nilai dan sumber daya alam dan ruang laras dan berkelanjutan. Tidak hanya itu, pada masa lalu dan sebagian masa kini pembacaan kalender dan waktu wariga juga dibutuhkan pengelolaan petanian-penelayanan untuk pengamanan dan kedaulatan pangan. Wariga, digunakan untuk memprediksi waktu yang tepat untuk melakukan aktivitas pertanian dan pernelayanan. Bagi Petani, mulai dari persiapan lahan dan benih, menanam, merawat, panen, penyimpanan, pemanfaatan dan pengolahan; dan bagi nelayan, turun melaut, lokasi tangkap, penangkapan ikan dan sejenisnya dan pulang melaut, jeda menangkap ikan. Keren kan??
Wariga dan Tantangan Kedepan
Namun, perubahan lingkungan dan arus modernisasi belakangan ini telah membawa tantangan baru bagi keberlanjutan dan relevansi penggunaan Wariga. Masyarakat Saujana Adat Bayan menghadapi isu-isu seperti perubahan iklim, konversi lahan, dan aktivitas antropogenik yang mempengaruhi ketepatan pembacaan Wariga, terutama pada sektor pertanian lahan kering dan perikanan tangkap. Selain itu, gap pengetahuan antara generasi muda dan generasi tua mengenai Wariga semakin lebar, dan beberapa generasi muda bahkan kehilangan pengetahuan tentang sistem penanggalan ini.
Lalu muncul pertanyaan, di era “Modern” dan digitalisasi ini, masih relevankah pranata waktu : Wariga ini? Berbasis pertanyaan ini riset partisipatif dilakukan bersama oleh Santiri dan Sekolah Adat Bayan (SAB): Membangkitkan Kearifan (wariga) Bayan Menuju Ketahanan dan Kedaulatan Pangan Berbasis Ilmu Pengetahuan Maestro.
Kegiatan ini melibatkan maestro setempatan, Tim Santiri : teknokrat dari Alumni ITS Wilayah Nusra (Pengajar UNRAM, UNU-Mataram dan UIQBHA-Bagu), Dosen UNU dan UIN, Sineas, Ahli Pemetaan Partisipatif, Mahasiswa UIN dan Universitas Gumi Gora serta tentu saja Pemuda dan pegiat Sekolah Adat Bayan. Hasil riset yang memadukan kearifan dan kecerdasan local dengan iptek kekinian (“modern”) ini kemudian diulik, direinterprestasi dan ditampilkan (reaktualisasi dan ditransformasikan) dalam bentuk Animasi, Film Dokumen Populer, dan Aplikasi Digital.
Melalui proses Penggalian data dan informasi lewat tahapan observasi dan wawancara ke para tokoh adat masyarakat adat Bayan yang memahami tentang perhitungan Wariga, kegiatan ii dilakukan selama kurang lebih 2 bulan mengunjungi para tokoh adat diantara waktu-waktu senggangnya entah siang atau malam, tim melakukan wawancara bahkan tidak hanya sekali kunjungan ke para tokoh adat tersebut untuk mendapatkan data yang akurat. Setelah semua dirasa cukup makan dibuatlah suatu scenario film dokumentasi dan animasi serta aplikasi perhitungan wariga agar dapat dilihat secara online. Selama kurang lebih 6 bulan proses ini berjalan, maka diperlukan screening film dan pengenalan aplikasi wariga ke masyarakat umum khusunya generasi muda milenial dan gen z. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan dan mengapresiasi sistem penanggalan Wariga yang telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat adat di Bayan, Lombok. Kami berharap melalui kegiatan ini, para peserta yang terdiri dari pelajar dan komunitas dapat lebih memahami dan menghargai kearifan lokal yang ada.
Kegiatan dilakukan dengan santai tapi serius dan memadukan pendekatan seni-budaya dan sain, dibagi dalam 3 Segmen. Pertama, Paparan tentang Wariga yang didukung oleh Animasi; kedua, Pengenalan Wariga Digital; ketiga, Pemutaran perdana atau Screening film dokumentasi yang masing masing dilanjutkan dialog dan diskusi antar penyaji/pemateri dengan peserta. Secara Keseluruhhan rangkaian kegiatan antara lain :
- Penayangan Animasi Wariga,
- Pemutaran Film Molang Maliq
- Pemutaran Film Dokumenter Wariga
- Pengenalan (Aplikasi) Wariga Digital
- Diskusi
- Launching Festival Rinjani V
- Penutup