Meskipun merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, program pembangunan Indonesia cenderung berpihak pada wilayah daratan, khususnya pusat perkotaan di Pulau Jawa dan ibu kotanya. Hal ini mengakibatkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya, yang berdampak negatif terhadap masyarakat pulau. Begitu juga krisis iklim yang terjadi saat ini. Sistem pembangunan kapitalis yang ekspansif dan eksploitatif seringkali mengabaikan kelestarian lingkungan, sehingga menyebabkan kesenjangan dan krisis global, termasuk krisis pangan yang diperburuk oleh perubahan iklim, khususnya yang berdampak pada wilayah kepulauan.
Masyarakat adat di kepulauan Indonesia memiliki beragam sistem lokal yang mengatur kedaulatan, kemandirian ekonomi, dan martabat sosial budaya, yang bertujuan untuk mencapai keadilan, keharmonisan, dan keberlanjutan dalam mengelola sumber daya penting seperti pangan, sandang, dan papan. Secara historis, sistem masyarakat lokal didasarkan pada konsep ” saujana “, yang didirikan di hamparan laut dan daratan di masing-masing pulau atau gugusan pulau, yang menekankan pengelolaan nilai-nilai alam, institusi, dan pengetahuan yang holistik dan berkelanjutan.
Nilai-nilai kearifan lokal semakin berkurang akibat modernisasi, sehingga menyebabkan degradasi dan marginalisasi yang cukup besar, sehingga mengakibatkan hilangnya sistem pertanian dan kesehatan tradisional, serta warisan arsitektur. Peralihan kekuasaan, penggunaan lahan, produksi, dan konsumsi semakin membatasi ruang hidup dan wilayah pengelolaan masyarakat adat, sehingga berdampak pada sistem pertanian dan penghidupan mereka.
Kebangkitan Pasca Bencana
Bencana alam, seperti gempa bumi Lombok pada tahun 2018 dan dampak Covid-19 yang masih terjadi, telah menyadarkan masyarakat adat akan pentingnya merevitalisasi kearifan lokal mereka, yang dibuktikan dengan respons mereka terhadap bencana yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Begitu juga dengan pengaruh modernisasi, meskipun modernisasi telah mengganggu berbagai aspek kehidupan masyarakat adat, nilai-nilai unik dan kearifan masyarakat sebagian besar tetap tidak terpengaruh, sehingga memberikan panduan dan ketahanan selama masa-masa sulit.
Upaya dan Tantangan
- Ketahanan Masyarakat : Meskipun terdapat tantangan, masyarakat adat berupaya untuk melestarikan pengetahuan dan cara hidup mereka, khususnya melalui inisiatif seperti Sekolah Adat Bayan (SAB), yang bertujuan untuk mengintegrasikan kearifan tradisional dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
- Pertanian Berkelanjutan : Proyek ini bertujuan untuk memulihkan dan mengintegrasikan kearifan tradisional dengan praktik pertanian modern, mengatasi menyusutnya lahan pertanian, kesuburan tanah, dan kesehatan tanaman akibat pupuk kimia.
Tujuan Jangka Panjang
- Revitalisasi Pertanian : Tujuan jangka panjangnya adalah menjadikan pertanian berbasis kearifan lokal sebagai landasan ketahanan pangan bagi Masyarakat Adat Dayan Gunung , berkontribusi terhadap pemulihan Lembaga Adat Lauq-Daya dan Gawe Alip.
- Gerakan Pertanian Berkelanjutan : Tujuan jangka menengahnya mencakup mendorong pertanian berkelanjutan dan progresif sebagai elemen kunci ketahanan pangan, mempopulerkan kelas pertanian berkelanjutan, dan mengembangkan usaha pertanian berkelanjutan dan progresif dalam Komunitas Adat Bayan.
Tujuan Jangka Pendek (2024-2025)
- Implementasi Prototipe : Tujuan jangka pendeknya meliputi pembuatan prototipe pertanian berkelanjutan dan progresif di Desa Adat Bayan, mengintegrasikan pertanian adat dan pendidikan formal melalui prototipe laboratorium kelas dan lapangan di SAB dan SMK 1 Bayan.
- Keterlibatan Masyarakat : Melibatkan masyarakat adat, petani lokal, dan lembaga pendidikan untuk berpartisipasi aktif dalam proyek, memastikan keterlibatan perempuan dan pemuda dalam praktik pertanian berkelanjutan.
Target Langsung (2023-2024)
- Pedoman Pengembangan : Mengembangkan pedoman pengembangan pertanian dan pendidikan yang berakar pada evaluasi ulang konsep lumbung pangan, yang bertujuan untuk menciptakan model pertanian berkelanjutan dan progresif yang terintegrasi dengan fasilitas ruang kelas dan laboratorium lapangan.
- Keterlibatan Komunitas : Melibatkan 18 komunitas adat di wilayah Dayan Gunung , khususnya di Kecamatan Bayan, dalam revitalisasi dan transformasi kearifan adat, dengan fokus pada partisipasi aktif perempuan dan pemuda.
Implementasi Proyek
- Pendekatan Partisipatif : Proyek ini akan dilaksanakan melalui pendekatan partisipatif dan berbasis praksis, yang melibatkan pemantauan, evaluasi, dan refleksi berkala untuk memastikan pelaksanaan upaya revitalisasi yang koheren dan berdampak.
- Warisan Berkelanjutan :Kegiatan ini bertujuan untuk membangun warisan berkelanjutan dengan mengalihkan aktivitas dan tanggung jawab proyek kepada lembaga dan komunitas lokal, memastikan kelangsungan dan perluasan inisiatif pertanian berkelanjutan.
Sebagai Bagian dari rencana kegiatan tersebut, maka pada hari Sabtu tanggal 27 April 2024 dilaksanakan Sangkep Sekolah Lapang yang lokasi di SMAS Al-Bayan sebagai bagian untuk melakukan konsolidasi mencapai kesepakatan diantara ketiga lembaga pendidikan tersebut (SAB, SMAS Al Bayan dan SMKN 1 Bayan) bersama Santiri Foundation yang nantinya akan ditindaklanjutin dalam suatu rencana kerja bersama. kegiatan ini dikuti oleh perwakilan guru dari ketiga lembaga tersebut.
sebelum kegiatan ini, tim juga meninjau lahan pertanian Sorgum yang telah siap panen dan direncanakan akan dipanen pada bulan depan (Mei) sekaligus menindaklanuti hasil dari sankep kali ini,