Negeri Nyiur Melambai adalah salah satu julukan Indonesia. Di hampir setiap jengkal tanah yang dimiliki Indonesia bisa kita temukan pohon nyiur atau kelapa ini. Bukan hanya di Indonesia saja pohon kelapa ini ditemukan melainkan di hampir seluruh Asia Pasifik. Tetapi di Indonesia lah yang terbanyak.
Pohon kelapa tumbuh di pantai hingga dataran tinggi. Pohon Kelapa bagus untuk menahan abrasi dan menyerap karbon. mulai akar, batang, daun hingga buahnya memiliki kebermanfaatan yang luar biasa. Maka Budaya berbasis pohon kelapa pun berkembang di setempatan maupun secara lebih luas. Meski sekarang terjadi penyusutan pohon kelapa akibat alih kuasa dan alih guna, alih produksi dan alih konsumsi, budaya itu masih terasakan.
Adalah ‘lidi’ yang nyaris tak bernampak dalam keseluruhan raga pohon kelapa. Ia hadir sebagai sosok yang lentur namun kuat. Jika akar pohon kelapa mencakar dan mencengkeram bumi, maka lidi menguatkan dedaunan pohon kelapa menggapai langit. Melambai lambai dalam rumpun yang solid. Jika bersendiri, lidi mudah dipatahkan, namun jika terikat atau terajut dalam satu keatauan, sulit dipatahkan
Di Indonesia lidi digunakan untuk menisik daun pembungkus, sapu, dirajut menjadi piring tempat makanan (Sasak: Inke), perangkat ritual menangkal atau memanggil hujan dan sebagainya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menaikkan derajat lidi. Lidi dijadikan bahan untuk anyaman taplak meja, hiasan dinding. Sering diteliti untuk diolah menjadi bahan baku energi baru terbarukan (riset UGM), dan bahkan agregat konstruksi bangunan (riset Universitas Padang).
Lidi memiliki nilai filosofis kelenturan dan fleksibelitas dalam pergaulan. Dalam sebuah ikatan (sapu lidi), lidi melambangkan kebersamaan dan gotong royong, mencerminkan kekuatan yang tak bisa dikalahkan dan dipatahkan. Symbol kebersihan hidup. Secara sendiri sendiri dan apalagi bersama sama lidi tetap adap asor. Rendah hati
Sementara Kenduri atau Rowah (Sasak) adalah tradisi selamatan atau syukuran untuk maksud tertentu, misalnya setelah melakukan kerja besar atau kerja yang membutuhkan energi yang banyak. Ada pula syukuran atas limpahan manfaat alam: Meruwat Bumi, syukuran terhadap keberkahan air, keberkahan laut pada nelayan (nyawen) dan sejenisnya. Umumnya dilakukan secara gotong-royong dalam keprihatinan atau suka cita bersama. Lidi seringkali digunakan dalam kenduri.
Kenduri Lidi dan Kaum Milenial
Meski jaman sudah menapak jauh hingga ultra modern, kenduri dan lidi tetap eksis di berbagai ruang dan waktu Nusantara. Nilai nilai kearifan lokal yang termaktub dalam kenduri-lidi masih relevan dengan kondisi saat ini. Namun harus diakui bahwa pemaknaan filosofisnya mulai memudar.
Filosofi dalam pemaknaan baru sesungguhnya dapat menjadi pemantik pemajuan kebudayaan serta pembangkitan kesigapan pemuda-milenial dalam menjawab tantangan kedepan. Akan tetapi Kalangan milenial nyaris tidak atau belum terlibatkan dalam pemaknaan lama maupun baru.
Kaum muda-milenial saatnya melek, bangkit, bersuara dan bergerak. Mematutkan diri dalam jiwa kewirausahaan dan memperluas interaksi antar mereka, antar mereka dengan warga lainnya. Memimpin dan membersemai pemajuan kebudayaan dan menyelesaikan persoalan setempatan, nasional dan regional-global. Mendayagunakan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, utamanya digital dan artifisial intelegen secara tepat guna dan tidak memalukan dimata dunia.
Dalam hal ini Santiri Foundation bersama kalangan milenial dan sejawat lainnya mengagas “Kenduri Lidi Nusantara”. Sebuah upaya Pemantik merajut kembali dan menjaga sikap toleransi serta mendorong keterikatan dan tanggung jawab bersama terhadap pemajuan kebuadayaan dan peradaban baru. Dalam niatan ini kalangan milenal didorong berada di garda depan dan menjadi pencetus pemajuan kebudayaan dan menciptakan peradaban masa depan yang sesungguhnya memang menjadi hak milik mereka.
B. Tujuan
- Membuka dan menyediakan ruang pemelekan (literatif) dan ekspresi bagi kaum muda-milenial untuk mengembangkan kepemimpinan (leadership), membangun dan memperkuat entrepreneurship dan kesalingtautan (intra-preneurship), dan membersamai ekosistem pemajuan kebudayaan melalui IoT (digital innovation).
- Mendorong dan meningkatkan kepedulian, rasa kepemilikan, keterikatan, gotong royong dan tanggung jawab warga terhadap pemajuan kebudayaan dan kepemudaan.
C. Tema
Melalui Ekspresi “Kenduri Lidi Nusantara” memadukan kearifan lokal dan kebudayaan dengan iptek modern, meningkatkan keberdayaan pemuda-milenial dalam memaknai kembali kebudayaan Nusantara dan kiprah dinamis di kancah Mondial (global)
D. Manfaat
- Masyarakat umum maupun peserta dapat mengingat dan mengenal kembali serta menjadi bagian pemulihan dan pemuliaan kearifan nusantara yang ramah lingkungan, memiliki nilai nilai guyub, gotong royong, toleran dan saling berbagi.
- Kalangan muda-milenial dapat menggunakan akses dan ruang ekspresi budaya serta sebagian diantaranya mencuat dan memperoleh kesemptan untuk meningkatkan talenta kepemimpinan, kewirausahaan dan digitalnya.
- Sebagai ajang silaturahmi para pihak, utamanya kalangan yang sedang bersitegang dalam suasana politik yang makin memanas.
E. Dampak
- Penyatuan serpih serpih perbedaan.
Melalui kenduri lidi ini diharapkan dapat mengurangi ketegangan yang terjadi akibat system dan mekanisme politik yang makin liberal; mengurangi ‘tensi’ warga dan politisi yang semakin ‘terbelah’ dalam sekat sekat kepentingan kelompok dan golongan; merajut Kembali perbedaan yang ada dalam kesatuan yang menghormati perbedaan. - Re-memori.
Bahwa bangsa nusantara ini pernah disebut negeri Nyiur Melambai yang sesungguhnya memiliki nilai nilai luhur yang jika dijunjung bersama akan menjadi metadaya pemajuan kebudayaan dan peradaban bangsa dan negara, minimal di level Indonesia kecil yang terkecil. - Pemantikan Pemajuan Kebudayaan.
Rumusan yang dibuat dan diekspresikan oleh kalangan muda-milenial dapat dijadikan acuan bersama, baik oleh kalangan milenial maupun pemangku Amanah dan pengampu kebijakan. Rumusan ekspresi budaya kaum muda-milenial dapat dijadikan acuan dan landasan bagi pemerintah daerah dalam Menyusun kebijakan dan program pemajuan kebudayaan dan kepemudaan
Konsep Kegiatan
Kenduri Lidi Nusantara merupakan kegiatan dan ekspresi budaya yang dimaksudkan untuk mengajak masyarakat secara luas, utamanya kalangan milenial. Mengajak kembali mengenal dan mengejawantahkan apa itu gotong royong, tolerasni, saling berbagi, rendah hati secara institusional dan perorangan. Sekaligus menjadi ajang refleksi bahwa ruang dan waktu di mana kita berpijak dan melangkah ke masa depan yang lebih cerlang tidak sedang dalam keadaan baik baik saja. Dan perlu upaya bersama (gotong royong) untuk memperbaikinya.
Melalui kegiatan ini diharapkan terbangun pemahaman dan kesadaran kritis yang menjadi alas pijak peningkatan keberdayaan kalangan muda-milenial dan pemajuan kebudayaan. Kesadaran kolektif akan adanya jalan baru, yakni kebersandingan ilmu pengetahuan dan teknologi baru dengan akar nilai budaya (kearifan lokal) dan pemasadepanan kebudayaan; kebersandingan ekonomi, ekologik dan sosiologik yang berkeadilan dan berkelanjutan dalam jagat mikro, meso dan makro.
Kegiatan ini digagas oleh Santiri bersama sejawat lainnya dan dielaborasi, diformulasi serta dilaksanakan secara bergotong royong oleh kalangan muda-milenial dengan dukungan dari warga, pengampu kebijakan dan pemangku Amanah lainnya yang peduli dan memiliki visi yang sama.
Disadari bahwa setelah dua tahun dunia berada dalam belenggu pandemi COVID 19 –dan pemulihan akibat gempa 2018 di NTB dan belahan bumi lainnya— dengan segala akibat dan tantangannya menyebabkan banyak sektor dan aktor mengalami adaptasi menuju normal baru.
Berdasarkan pengalaman terkait dengan penanganan kedua bencana itu menunjukkan bahwa Iptek modern seyogyanya bersanding dengan kearifan lokal dan kebudayaan, atau sebaliknya juga demikian. Itu berarti juga bahwa untuk penyelenggaraannya tidak bisa hanya bergantung pada bantuan Pemerintah atau dukungan dari Lembaga donor luar negeri. Bantuan dari Pemerintah dan apalagi luar negeri harus dilihat dan sebaiknya hanya bersifat Stimulan.
Sementara itu untuk menggerakkan kembali kegiatan-kegiatan pemajuan kebudayaan dan kepemudaan (leadership, intrapreneurship, digital innovation) tidak bisa hanya dilakukan atau diadakan dalam waktu sesaat. Karenanya keterlibatan dan tanggung jawab public (warga) juga diperlukan dalam waktu yang panjang. Baik dalam skala lokal, nasional maupun global.
Dengan kata lain, Gotongroyong dan jimpitan diperlukan secara simultan, menerus dan sistemik guna mendorong rasa kepemilikan, rasa tanggung jawab bersama. Kebersamaan untuk memajukan kebudayaan dan pelibatan kaum muda-milenial dalam berbagai persoalan dan aspek yang memengaruhi pemajuan kebudayaan dan peradaban.
Tentu saja beserta factor factor yang memengaruhi dan yang sedang “in”, seperti persoalan kerusakan alam dan Perubahan iklim, intoleransi dan ketimpangan social-ekonomi, ketahanan dan kedaulatan pangan, krisis air dan energi; politik yang makin jauh dari kesejukan dan peran pemakmuran yang berkeadilan, perkembangan teknologi media dan informasi serta Artificial Intelegence beserta daya dobrak dan daya rusaknya.
Disadari bahwa setelah dua tahun dunia berada dalam belenggu pandemi COVID 19 –dan pemulihan akibat gempa 2018 di NTB dan belahan bumi lainnya— dengan segala akibat dan tantangannya menyebabkan banyak sektor mengalami adaptasi menuju normal baru.
Berdasarkan pengalaman terkait dengan penanganan kedua bencana itu menunjukkan bahwa Iptek modern seyogyanya bersanding dengan kearifan lokal dan kebudayaan, atau sebaliknya juga demikian. Itu berarti juga bahwa untuk penyelenggaraannya tidak bisa hanya bergantung pada bantuan Pemerintah atau dukungan dari Lembaga donor. Bantuan dari Pemerintah dan apalagi luar negeri harus dilihat dan sebaiknya hanya bersifat Stimulan.
Sementara itu untuk menggerakkan kembali kegiatan-kegiatan pemajuan kebudayaan dan kepemudaan (leadership, intrapreneurship, digital innovation) tidak bisa hanya dilakukan atau diadakan dalam waktu sesaat. Karenanya keterlibatan dan tanggung jawab public (warga) juga diperlukan dalam waktu yang panjang. Baik dalam skala lokal, nasional maupun global.
Dengan kata lain, Gotong royong dan jimpitan diperlukan secara simultan, menerus dan sistemik guna mendorong rasa kepemilikan dan rasa tanggung jawab bersama. Kebersamaan untuk memajukan kebudayaan dan pelibatan kaum muda-milenial dalam berbagai persoalan dan aspek yang memengaruhi dan yang sedang “in”.
Persoalan Kerusakan alam dan Perubahan iklim adalah persoalan ekologik yang saat ini meluas. Pada dimensi sosiologik, intoleransi dan ketimpangan social-ekonomi semakin melebar dan dalam, dsertai dengan terjadinya kelaparan massif, hilangnya ketahanan dan kemandirian pangan. Di bidang politik, kekuasaan yang makin jauh dari kesejukan dan peran pemakmuran yang berkeadilan.
Sementara di bidang iptek, terjadi perkembangan teknologi media dan informasi yang sangat cepat sedemikian rupa sehinga AI (Artificial Intelligence) akan menggantikan ragam peran manusia.
Disadari bahwa setelah dua tahun dunia berada dalam belenggu pandemi COVID 19 –dan pemulihan akibat gempa 2018 di NTB dan belahan bumi lainnya— dengan segala akibat dan tantangannya menyebabkan banyak sektor mengalami dan melakukan adaptasi menuju normal baru.
Berdasarkan pengalaman terkait dengan penanganan kedua bencana itu menunjukkan bahwa Iptek modern seyogyanya bersanding dengan kearifan lokal dan kebudayaan, atau sebaliknya. Itu berarti juga bahwa untuk penyelenggaraan kegiatan kebudayaandan kepemudaan tidak bisa hanya bergantung pada bantuan Pemerintah atau dukungan dari Lembaga donor luar negeri. Bantuan dari Pemerintah dan apalagi luar negeri harus dilihat dan sebaiknya hanya bersifat Stimulan.
Selain itu, kegiatan-kegiatan pemajuan kebudayaan dan kepemudaan tidak bisa hanya dilakukan atau diadakan dalam waktu sesaat. Karenanya keterlibatan dan tanggung jawab public (warga) juga diperlukan dalam waktu yang panjang. Baik dalam skala lokal maupun global.
Diskusi konsep dan rancangan proposal dilakukan sejak akhir bulan Mei 2023, pada tahap ini juga mulai direkrut anak anak muda-milenial jejaring dan dampingan Santiri dan sejawat lainnya. Kaum muda ini diajak diskusi tentang kondisi yang ada saat ini, baik menyangkut tentang toleransi, radikalisme, politik, kondisi nilai alam dan sebagainya. Setelah terjadi kesamaan pemahaman, baru diajak untuk menginternalisasi dan membangun konsep kenduri lidi.
Selanjutnya diskusi intens minimal seminggu sekali dilakukan untuk membreakdown konsep ke dalam program dan rencana kerja/aksi. Sesekali didampingi agar bisa kerja secara sistematis dan berhasil guna. Hasil diskusi ini kemudian dirapikan dan dimatangkan oleh tim Santiri. Kemudian didiskusikan untuk memperkaya dan memperdalam bersama sejawat lain seperti Pondok Pesantren Nurul Haramain, UNU, SAB, BTNGR Institusi dan beberapa komunitas lainnya.